My gears, my activities and my adventures



" Mahal dan tak terjangkau.."
Itulah yang terbersit dalam benakku ketika menyaksikan satu pameran yang di selenggarakan oleh MALIMPA
( Mahasiswa Muslim Pencinta Alam ), suatu organisasi pencinta alam dan menjadi salah satu UKM yang ada di kampusku. Terlihat di situ beberapa benda aneh yang tidak aku ketahui apa namanya dan fungsinya. Ada yang berupa besi-besi yang panjangnya hampir seukuran 1 jengkal tanganku, alumunium berbentuk angka 8, alumunium bergerigi yang menggunakan pegas dan banyak lagi yang lainnya. Seram dan aneh, itulah kesan yang aku tangkap ketika memandang para anggota pencinta alam itu karena mereka rata-rata berambut gondrong, memakai asesoris di sana-sini dan berwajah garang. Melihat aku yang tampak masih kebingungan itu, salah satu dari mereka mendekatiku dan menyapa dengan ramah. " Ada yang bisa saya bantu mas? ". Wah, jadi malu aku karena sudah sempat berpikiran negatif tentang mereka. Ternyata pemuda tadi namanya mas Walang, salah satu anggota dari organisasi pencinta alam tersebut. Kesempatan itu lalu aku gunakan untuk menanyakan hal-hal yang tadi sempat membuat aku bingung. Dari dia kemudian aku tahu bahwa benda-benda tadi dipergunakan untuk keperluan panjat tebing. Mas Walang ini ternyata orangnya asyik juga karena dia banyak bercerita tentang kegiatan organisasinya, bahkan dia menawariku untuk mencoba mencoba latihan panjat dinding di dinding panjat yang ada di kampus kami. tentu saja tawaran dia tidak aku sia-siakan begitu saja. Sore harinya aku datang ke base camp MALIMPA untuk memenuhi tawarannya itu dan ternyata merayapi dinding panjat sangat mengasyikan karena saat itu aku membayangkan diriku sebagai tokoh Spiderman! Hehehehehe...
Dari perkenalanku dengan mas Walang itulah aku jadi semakin mengenal dunia ini, dunia yang akan mengubah diriku menjadi seperti ini. Aku yang tadinya mempunyai pemikiran bahwa mendaki gunung adalah kegiatan yang hanya dilakukan orang-orang kurang kerjaan dan membuang waktu saja. Suatu hari aku diajak kemping ke Kalisoro, suatu tempat yang merupakan bumi perkemahan di kaki gunung Lawu oleh kawanku, Supraptono. Aku yang sama sekali buta terhadap dunia ini seolah tergagap karena tidak tahu peralatan apa yang harus dibawa dalam kegiatan itu. Namun dari informasi yang aku dapatkan ternyata peralatan dan perlengkapan yang dibutuhkan itu tidak jauh berbeda dengan peralatan dan perlengkapan militer. "Wah, pucuk di cita ulam tiba! " ucapku gembira karena aku ingat bahwa di rumahku di Tegal ada beberapa peralatan dan perlengkapan militer milik kakak iparku seperti sleeping bag, matras, nesting, veples, tas carrier hijau khas TNI, pisau sangkur dan sepatu boat TNI tentunya. Masalah kostum yang aku pakai pun sudah berbau militer karena aku memakai celana loreng lengkap dengan jaketnya! Benar-benar sudah mirip anggota TNI yang mau maju perang saja! Hahahaha...
" Kapok lombok! " Itulah yang aku rasakan setelah mengikuti kegiatan kemping bersama kawan-kawanku. Kaki dan badanku terasa pegal-pegal semua karena pada saat kemping Supraptono mengajakku menaiki satu bukit yang ada. Mau menolak malu sama kawan-kawan yang lain sementara setelah aku turuti ajakan itu nafasku terasa sesak dan dadaku terasa panas. Belum lagi harus jatuh bangun karena aku sering terpeleset oleh licinnya jalan setapak yang kami tempuh itu. " Huh..benar-benar menyebalkan! " . Saat itu aku memutuskan untuk tidak mau ikut-ikutan lagi dengan kegiatan yang namanya mendaki gunung atau apalah namanya. Percuma juga toh sepertinya aku tidak punya hobi ke arah situ. Pemikiranku ini sempat bercokol dalam benakku kurang lebih sampai 1 semester hingga pada suatu saat Supraptono mengajakku untuk mendaki gunung Sumbing. " Mendaki gunung? " saat itu yang terlintas dalam pikiranku adalah rasa capek yang luar biasa karena baru mendaki bukit saja aku sudah merasakan kelelahan yang amat sangat! Namun pikiranku ini hilang saat aku melihat foto-foto koleksi Supraptono ketika dia mendaki gunung-gunung di Jawa Tengah seperti gunung Slamet, gunung Merbabu, gunung Merapi dan lainnya. Aku kembali tertantang untuk bisa seperti dia karena secara fisik dia memang lebih kecil dari aku. " Kalau dia bisa kenapa aku tidak? ". Akhirnya saat itu kuputuskan untuk mengikuti ajakannya yaitui mendaki gunung Sumbing. Hitung-hitung buat pengalaman pribadi lah..
Mengingat ini adalah pendakianku yang pertama maka peralatan yang kubawa sedikit lengkap dari sebelumnya, namun tetap saja aroma militer masih nampak dalam penampilanku saat itu. Maklum saja, harga baju dan celana seperti yang biasa di pakai para pencinta alam masih di luar jangakauanku. Apalagi merk EIGER dan ALPINA masih sangat prestisius di kalangan para mahasiswa. " Apa salahnya kalau kali ini aku tetap ikut mendaki gunung Sumbing dengan peralatan dan perlengkapan dari militer seperti waktu kemping dulu? Toh benda-benda itu kegunaannya sama saja di lapangan nantinya. Yang penting kegiatan pendakian ini masih bisa aku ikuti! " Begitu tekadku dalam hati. The show must goes on!
Pendakian pertamaku berhasil aku lakukan meskipun efek dari pendakian itu terasa lebih parah dari apa yang aku rasakan saat kemping dahulu. Namun rasa capek dan lelah yang selalu aku rasakan seolah hilang begitu saja ketika aku melihat foto-foto yang kami buat selama pendakian berlangsung. Melihat sunrise dari puncak gunung merupakan kenikmatan yang tiada tara dan melihat awan yang berserakan di bawah membuatku tidak percaya dengan apa yang aku lihat selama ini bahwa awan itu selalu di atasku dan tidak mungkin aku bisa menyentuhnya. Namun kali ini aku bahkan bisa merasakan awan yang menerpaku dalam bentuk kabut yang dingin. Allah SWT memang Maha Besar...
Pendakian-pendakian berikutnya pun semakin sering kami lakukan dari gunung Lawu, gunung Merapi, gunung Merbabu dan gunung Sindoro. Tidak semua pendakian yang aku lakukan bersama kawan-kawanku berhasil mencapai puncak. Terkadang baru saja kami berjalan dan belum mencapai separuh dari rute yang harus kami tempuh tiba-tiba saja kondisi fisik langsung drop atau ketika kondisi kami sedang sehat-sehatnya justru alam yang tidak bersahabat dengan kami. Kalau tidak hujan yang sangat lebat ya badai angin yang luar biasa dinginnya. semua itu membuat kami harus menelan pil pahit kalau pendakian kali ini harus gagal. Tapi menurutku, akan jauh lebih penting ketika kita tahu kapan harus turun dan kapan waktunya pendakian ini bisa tetap dilakukan menuju puncak. Tidak ada gunanya melakukan tindakan yang bisa membahayakan diri sendiri bukan?
Seiring waktu yang berjalan maka pengetahuanku tentang dunia mendaki gunung ini semakin bertambah, begitu juga peralatan dan perlengkapan mendaki gunung yang aku miliki juga semakin lengkap saja. Satu per satu benda-benda yang tadinya hanya bisa aku pandangi di etalase toko bisa aku beli, mulai dari sendal gunung, celana kargo, topi rimba, tas daypack dan benda-benda yang lainnya. Sampai pada akhirnya aku tertarik untuk mempunyai 1 set descender, carabiner dan webbing. Ya, ternyata aku sudah mulai tertarik dengan dunia panjat tebing yang dulu sempat aku coba. Namun kendala utamanya adalah pada tali kernmantel yang harganya mencapai 1 juta rupiah itu. Aduh, mana mungkin aku membeli tali kernmantel dengan harga semahal itu? Mau ikut latihan dengan anak-anak MALIMPA terus menerus aku merasa tidak enak karena aku bukan anggota resmi dari organisasi itu. Tapi aku kan juga ingin merasakan rasanya rapelling itu bagaimana? Lalu aku mencari jalan keluarnya. Tanpa sengaja aku pergi ke toko besi untuk membeli paku, tidak sengaja pandanganku tertuju pada gulung tali plastik yang berukuran kurang lebih se-ibu jari tanganku. Entah setan dari mana yang membisikan ke telingaku untuk membeli tali itu sebagai gantinya tali kernmantel. Aku masih ingat harganya sekitar Rp 2.500 per meter dan aku membeli 10 meter. Hmm..akhirnya aku bisa juga latihan rapelling meskipun tali yang aku gunakan ini tidak memenuhi standar keselamatan olah raga ini. Ah, masa bodoh lah...
Masalah kemudian muncul pada lokasi di mana aku akan melakukan latihan rapelling ini nantinya. Aku membutuhkan tempat yang tinggi dan kalau bisa yang tidak ramai dikunjungi orang, itu saja. Kemudian aku ingat kalau di belakang tempat kostku ada 1 rumah kosong yang berlantai 3. Aku tersenyum ketika mendapat ide itu. Kawan berlatihku adalah Dwi, anak tetangga depan tempat kostku. Dia sih asyik saja ketika aku mengajaknya ikut berlatih denganku bahkan kemudian dia mau kuprovokasi untuk melubangi dinding bagian luarnya dan kemudia di pasangi batu-batuan yang di semen sebagai pengganti poin-poin panjat yang ada di dinding panjat. Ah..gila sekali ideku ini! Hampir setiap hari kami berlatih sendiri di tempat yang kami buat itu. Apa yang kami lakukan ternyata membuahkan hasil karena pada suatu ketika di Taman Sriwedari - Solo diadakan acara fun climbing. Meskipun itu bukan suatu ajang kompentensi yang bergengsi, tapi kami merasa bangga ketika kami ikut ternyata Dwi berhasil mendapatkan kupon yang bertuliskan " anda berhasil mendapatkan sebuah kaos " sementara aku cukup puas dengan kupon yang bertuliskan " anda berhasil mendapatkan sebotol teh sosro ". Hehehehehe....
Tidak terasa aku sudah wisuda dan waktunya aku pulang ke kampung halaman. Aku merasa sangat sedih sekali karena aku akan merasa kesulitan menemukan komunitas para pencinta alam seperti di kota Solo. Meskipun aku bukanlah seorang anggota pencinta alam dari organisasi pencinta alam di kampusku tapi pergaulanku dengan para pemilik atau penjaga counter yang menjual peralatan gunung dan rimba di kota Solo lumayan baik dan akrab. Hanya dengan mengunjungi counter-counter mereka dan melihat barang-barang yang di pajang saja sudah membuatku merasa " hidup ", apalagi kalau aku bisa sampai memilikinya secara lengkap. Tapi apa daya, saat itu aku masih belum mampu. Entah suatu saat nanti aku pasti bisa memiliki benda-benda yang aku inginkan itu. Itulah harapanku ketika aku mulai berkemas dan meninggalkan kota Solo pada tahun 2002.

Bersambung...

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dibalik kegiatan Leave No Trace 2007

Hidup Yang Berarti